Kamis, September 29, 2011

UMMAHAT MELEMPEM





Oleh Yeni Mulati, S.Si

“Saya gemas dengan sikap para ummahat yang cenderung pasif!” ujar seorang akhwat dalam sebuah pertemuan, tegas dan berapi-api. “Mereka sulit sekali digerakkan. Mestinya seorang kader itu punya inisiatif lebih, proaktif dan selalu bergerak, menjadi leader bagi mad’unya masing-masing.”
Saya yang kebetulan hadir dalam acara tersebut menatap sekilas sosok yang barusan mengucapkan kalimat yang demikian penuh semangat itu. Hanya sejenak, karena kemudian saya memperluas areal pandang kepada wajah-wajah yang lain, yakni wajah-wajah yang menundukkan kepala dalam-dalam. Mereka adalah para ibu yang sudah memiliki 2, 3, 4 hingga 8 putera. Apa gerangan yang terlintas dalam pikiran mereka?
“Iya dia bisa bilang begitu. Dia kan masih lajang, belum pernah merasakan betapa repotnya menjadi ibu,” gumam seorang ibu, tampak tersinggung dengan ucapan akhwat tersebut.
Seakan mendengar gumaman sang ummahat, akhwat itu pun melanjutkan ‘orasinya’. “Bukankah sebenarnya telah banyak contoh-contoh ummahat, yang puteranya bahkan sudah lebih dari selusin, tetapi mereka tetap aktif menjadi penggerak. Bahkan mereka berhasil mewarnai dakwah skala nasional dan internasional. Semestinya kita mencontoh mereka.”
Saya termenung mendengar ucapan sang akhwat. Bukan apa-apa! Saya merasa pada saat itu, sebuah potret tengah di hadapkan di depan mata saya. Potret masa lalu, dimana sosok yang dengan berapi-api mengucapkan kalimat semacam itu adalah saya sendiri. Ya, dulu pendapat saya memang senada seirama dengan akhwat tersebut. Saya sering merasa ‘jengah’ dengan para ibu yang relatif lebih lama berkecimpung di dunia dakwah—yang mestinya lebih berpengalaman, namun justru terkesan melempem.
Seperti juga akhwat tersebut, saya sangat kagum terhadap sosok ummahat yang profilnya sering dimunculkan di berbagai media dan namanya kerap disanjung-sanjung sebagai teladan kontemporer. Mereka berputera banyak, namun aktivitasnya tetap eksis dalam kancah jihad, bahkan seringkali mereka menunjukkan prestasi yang jauh melebihi para lajang seperti saya, dulu. Ideal sekali! Saya pun memancangkan harap, jika saya menikah dan berputera, saya pun akan berusaha menjadi seperti itu.
Tetapi itu dulu. Setelah saya menikah, mendadak saya menemukan sebuah dunia yang lain yang ujung-ujungnya, ternyata mewujudkan idealisme seperti itu sangat sulit. Saya mulai terikat dengan tanggungjawab selaku istri, yang harus full ‘menservis’ suami. Memang betul, jika ada yang berkomentar bahwa peran istri ada di sektor domestik sementara suami di sektor publik, adalah bias gender belaka. Mestinya ada pembagian peran yang signifikan. Namun tak bisa dibantah, kultur wanita Indonesia, khususnya Jawa memang begitu adanya. Setidaknya, ketika seorang istri tidak bisa menyediakan nutrisi yang sehat, membiarkan suami ‘keleleran’ atau rumah dibiarkan berantakan karena terlalu sibuk dengan aktivitas publiknya, tentu hal tersebut akan menjadi beban psikologis tersendiri, yang justru membuat sang istri terbebani perasaan bersalah, sementara suami terbengong-bengong melihatnya. “Akhwat kok begini, ya?”
 Bagaimanapun, para lelaki kita, ikhwan kita adalah orang Indonesia yang mungkin baru berinteraksi dengan Islam secara intens pada sepertiga akhir usianya. Maka sibghoh kultur yang melekat padanya pun belum semuanya terkikis. Maka keseimbangan pun harus tetap dilaksanakan, terjemahan kasarnya, sektor domestik pada sebuah keluarga ‘da’i min Indunisiy” tetap lebih banyak menjadi tanggungjawab istri.

(Catatan: Ini tidak berarti suami saya begitu, lho. Kami punya pembagian peran domestik yang cukup serasi, jieeh...!).

Tetapi meskipun begitu, tetap saja saya merasa lebih terbebani urusan domestik dibanding ketika lajang. Jika dulu saya enjoy saja rapat hingga seharian, tanpa harus bingung menyiapkan makan malam, atau bingung terhadap setumpuk cucian, maka sekarang saya dihadapkan pada ritme yang sama sekali berbeda. Minimal, itulah gambaran seorang istri.
Ketika saya hamil, saya merasakan beban yang lebih berat lagi. Trimester pertama, saya sebagaimana umumnya wanita, mengalami kondisi-kondisi sukar. Kondisi yang disebabkan oleh sibuknya sang rahim memproduksi sistem pendukung kehidupan bayi, yaitu plasenta yang terus berkembang hingga akhir trimester pertama serta penyesuaian terhadap banyak tuntutan fisik dan emosi. Saking beratnya pekerjaan tersebut, Arlene Esenberg dkk[1] mengatakan, “wanita yang hamil meskipun sedang istirahat, ternyata menanggung kelelahan yang lebih berat daripada wanita tidak hamil yang tengah naik gunung.”
Bayangkan! Saya pernah mencoba menaklukkan sebuah puncak yang ‘hanya’ setinggi 2000-an meter, dan seminggu setelah itu keletihan saya belum juga sirna.
Maka saya pun dihadapkan pada sebuah kenyataan yang membuat saya insaf, dan merasa sangat malu, atas pandangan picik saya terhadap para ummahat, dulu. Apalagi ketika pada suatu saat saya diberi kesempatan bersilaturahim kepada para ummahat yang menjadi semacam ‘teladan kontemporer’ itu. Saya diberi kesempatan untuk melihat dari dekat kehidupan mereka. Yah, mereka memang hebat, lifestyle mereka menakjubkan, tetapi pendukung kehidupan mereka juga ternyata cukup kuat. Mereka punya mobil yang akan memudahkan mereka pergi kemana-mana. Punya babysister islami yang siap menemani anak-anak mereka jika kebetulan mereka bepergian, seringkali jumlah babysister itu lebih dari satu. Punya pembantu yang dilimpahi berbagai urusan domestik, mulai dari memasak hingga membersihkan rumah. Punya rumah yang cukup luas, dengan fasilitas teknologi yang relatif lengkap.
Nah! Bandingkan dengan kehidupan seorang ummahat yang sempat saya ‘potret’ kehidupannya. Ia memiliki empat putera, masih ngontrak di sebuah rumah sempit. Kendaraan tak punya, ia tak bekerja, sementara gaji suami pas-pasan hingga tak cukup untuk membayar pembantu. Pagi ia sudah sibuk menyiapkan makan pagi, memandikan anak, mempersiapkan kepergian ke sekolah. Setelah rumah sepi, ia harus mencuci beberapa ember pakaian kotor dan peralatan makan, menyeterika, membersihkan rumah. Padahal ia juga harus memutar otak untuk mencari penghasilan tambahan, menambah gaji suami yang tampaknya selalu tertinggal dari standar UMR di daerah tersebut. Waktunya seakan habis tersita untuk mengurusi kehidupan rumah tangganya. Bagaimana ia tidak melempem?
Saya tidak sedang membuat sebuah nuansa yang paradoksal, sama sekali tidak, karena semuanya sebenarnya bisa berjalan dalam keseimbangan. Yang dibutuhkan dalam hal ini adalah sejumlah pengertian, yang diimbangi dengan sejumput perhatian. Para akhwat yang ‘idealis’ harus memaklumi kondisi para ummahat ‘melempem’ sementara para ummahat juga harus banyak berintrospeksi, melakukan revisi terhadap perjalanan hidupnya. Bukankah berumahtangga adalah salah satu step yang harus ditempuh untuk mencapai tingkat kemashlahatan dakwah yang tertinggi, yakni Islam sebagai guru peradaban? Bagaimana tujuan itu akan tercapai jika ia membiarkan diri terjerumus dalam kejumudan yang melempem?
Wallahu a’lam bish-showab.
Surakarta, 8 September 2004
(Sebuah introspeksi: “Allah, jangan jadikan saya melempem...!”)

Tidak ada komentar: