Jumat, Desember 03, 2010

Ketika Cinta Bicara

Kuhentikan mobilku didepan sebuah gedung pertemuan tempat resepsi pernikahan kami 5 tahun yang lalu, pandanganku mengedar keseluruh gedung, sejenak kepejamkan mata mencoba mengumpulkan lembaran indah masa itu, sebuah kegiatan aneh yang akhir-akhir ini sering kali aku lakukan jika kubutuh sedikit suntikan semangat untuk jiwa lelahku. Nuansa white glamour yang terasa sangat kental, tatanan taman yang begitu indah dan dekorasi pelaminan bergaya American Classik, alunan merdu musik Endless Lovenya Mariah Carey, hemmm…. ingatan akan semua itu membuat senyumku sedikit tersungging sebelum akhirnya kujalankan mobilku, kembali pulang.

Rasa-rasanya sulit kuterima, Tarisa seorang fotomodel, calon pengacara, anak saudagar kaya raya, dengan kecantikan yang sangat luar biasa, berhasil kusanding di pelaminan. Jangan gangu aku aku lagi, maaf kita tidak level, ngaca dulu gih, cowok gak tahu malu, kepedean banget seh kamu mendekati aku, adalah beberapa kalimat yang sering dia lontarkan kepadaku dulu, ketika aku coba untuk mendekatinya, namun kalau patah semangat bukan Dody namanya, wajah boleh pas-pasan tapi untuk urusan cinta, bagiku tidak ada matinya. Meski jujur masih terselip sedikit ketakutan ketika kuawali drama pernikahanku, kalau-kalau istriku nanti tidak bahagia denganku, dan mencari cinta lain selain dari cintaku.

Meski tidak terlalu mulus, pernikahan kami bisa dikatakan jauh dari masalah, tanpa kehadiran buah hati tak membuat kebahagiaan kami berkurang, sekali-kali Tarisa masih meneriwa tawaran menjadi model, dan bekerja freelance pada sebuah perusahaan asing.

Sampai suatu hari kecelakaan hebat menimpa dia sekeluarga, orang tuanya meninggal seketika dilokasi kejadian, sedangkan dia yang saat itu duduk di bagian belakang mobilnya, terselamatkan meski kedua kakinya divonis dokter akan mengalami kelumpuhan permanen, hari-harinya menjadi muram, wajah cantiknya tak lagi bersinar seindah dulu, marah, sedih dan kecewa selalu menjadi teman setianya, kata-katanya tak pernah menyejukkan hati, bahkan sudah beberapa kali dia mencoba bunuh diri, sehingga membuatku harus selalu siap untuk menjadi luapan emosinya ketika jiwa labilnya mulai memprotes Tuhannya.

Setiap saat, setiap waktu selalu kucoba untuk menyemangatinya, agar dia menerima takdirnya ini dan berusaha kembali bangkit, tapi berbagai tawaran pengobatan dia tolak, semua kegiatan terapi tidak dia ikuti, karena sang pasien tidak mau diajak kerjasama maka dokterpun angkat tangan, namun tidak demikian denganku, tak pernah sedikitpun aku surut langkah untuk terus berada disampingnya, berusaha menjaga bara hidupnya untuk sekedar menyala walau hanya temaram.

“Tinggalkan aku, kenapa kamu masih juga mau mengurusi wanita cacat sepertiku”, katanya berapi-api padaku, disuatu sore ketika aku hendak memandikannya.
“Karena aku cinta kamu, aku sayang kamu, whatever u are, aku tidak peduli”, jawabku penuh perasaan sambil duduk berjongkok di depan kursi rodanya, dengan harapan dia melihat cinta didalam mataku.
“Apalagi yang bisa kamu banggakan dariku, aku bukan lagi wanita supermodel seperti idamanmu dulu, kakiku lumpuh, karirku hancur”, ujarnya sambil meneteskan embun-embun bening dari sudut matanya.
Ku sentuh wajahnya, kuusap rambutnya dan keseka airmatanya dengan kedua tanganku.
“Kamu adalah kamu, sampai kapanpun kamu tak pernah berubah dimataku, kecantikan hanyalah polesan luar, aku tidak mendewakan hal itu, bagiku hatimu adalah segalanya”.
“Aku tidak butuh rayuanmu, aku butuh kakiku”.
“Kalau keberadaan kakiku menggantikan kakimu adalah suatu keniscayaan, aku akan lakukan hal itu sejak dulu”.
“Cukup, aku tidak ingin mendengar omong kosongmu, karena hal itu tidak akan mampu mengembalikan aku menjadi seperti sedia kala”.

Ku tutup rapat telingaku, tak kuhiraukan rontaannya, meski semua perlengkapan mandi yang terjangkau olehnya dibuang, air yang hendak kusiramkan ke tubuhnya di tampik berulang-ulang, aku tidak peduli kulanjutkan kegiatanku memandikannya meski dengan susah payah. Kemudian kukenakan baju favoritnya yang sering dia kenakan ketika masih sehat dulu, kutata rambutnya, kedandani dia sebisaku, kapakaikan parfum ketubuhnya dan setelah selesai semuanya ku hadapkan dia kecermin besar yang ada dikamar kami, aku ingin dia melihat betapa cantiknya dia dengan segala kekurangannya. Dan sudah bisa ditebak seperti kemarin dan kemarinnya lagi, dia hanya sekilas melihat kecermin setelah itu dia akan mengarahkan kursi rodanya ke dekat jendela kamar kami, memandang kosong ke arah luar. Namun hal itu tak membuatku jera untuk mengulang hal yang sama sambil tak henti-hentinya kuucapkan semua mantra cintaku padanya.

“Kenapa kamu masih setia dengan istrimu, tidak capek kamu mengurusinya sepanjang waktu, tidakkah kamu juga butuh perhatian, cinta dan belaian mesra wanita”, kata Reno sahabatku.
“Ceraikan saja istrimu, wanita tidak tahu terima kasih seperti dia tak patut kamu cintai”, kali ini yang komplain Ayahku.
Entah sudah berapa banyak omongan miring tentang istriku, tapi aku tidak peduli, tak sedikitpun cintaku terpengaruh karenanya, tak salah memang jika badanku lelah, jiwaku sakit atas semua perlakuan istriku tapi tidak hatiku, mungkin benar yang dikatakan pujangga bahwa cinta itu aneh, tak bisa dicerna dengan logika, tapi bagiku lebih dari itu, cinta bukan kata-kata yang tak perlu diartikan maknanya, cinta bukan perhitungan yang membutuhkan ilmu matematika untuk memecahkannya cinta adalah persahabatan, cinta adalah memberi, cinta adalah mengerti.

Setiap hari kuajak istriku sekedar jalan-jalan meski hanya ke taman, aku ingin dia tahu kalau aku tidak malu memiliki istri cacat seperti dia, dan lebih dari itu aku ingin istriku tahu bahwa lumpuh bukanlah akhir dari segalanya, tak jarang aku marah-marah pada orang yang memandang aneh keistriku, tak sungkan-sungkan kulabrak orang yang mempersulit istriku, aku bangga dengan istriku bagaimanapun kondisinya dan aku ingin semua orang tahu hal itu.

Sebulan, setahun bahkan hampir genap 4 tahun sejak kecelakaan itu, tak tampak perubahan sedikitpun pada kesehatan istriku, namun aku masih setia, aku masih menunggu, dan aku masih mencintainya setulus dulu. Setiap hendak tidur, kupastikan dia nyaman berada di pelukanku, kujanjikan sebuah hari indah ketika dia terbangun dari tidurnya esok hari, dan kuazamkan bahwa aku akan selalu di dekatnya sampai kapanpun itu. Tak kupedulikan lagi tentang hidupku, kebutuhanku sebagai laki-laki normal bahkan sekedar menjalankan hobipun tak pernah lagi kulakukan.
Hidupku adalah dia, hari-hariku adalah istriku.




“Seminggu lagi kamu akan kami kirim ke Batam selama 6 minggu, untuk mempelajari teknik baru yang akan kita terapkan pada perusahaan”. Kata bosku waktu itu.
Akhirnya dengan sedikit was-was kutinggalkan istri dirumah dengan di temani pembantu setiaku.

*****
Selama berada ditempat yang jauh dari rumah dan istri membuatku sangat rindu pulang, kupercepat langkah kaki untuk sampai kerumah, tak kupedulikan lagi permintaan bosku untuk mampir dulu ke kantor setelah landing pesawatku, aku sangat rindu istriku, istri cantikku, istri hebatku.
Sengaja tidak keberitahu istriku kalau kepulanganku dipercepat 1 minggu dari jadwal semula, kubuka perlahan pintu rumah yang tidak terkunci, dengan sedikit berjingkat kulangkahkan kakiku menuju kedalam rumah, kulihat pembantuku kaget melihatku masuk tanpa permisi, kudekatkan telunjuk jariku ke bibir sebagai tanda jangan ganggu acara surprise untuk istri terkasihku, dan seperti memaklumi dia pun pergi kedalam sambil meninggalkan senyum aneh yang tak kumengerti.

Kulihat seorang wanita dengan gaun warna putih bertali dengan bukaan dada sedikit rendah sedang berdiri menata bunga di samping rumah, bodinya mirip istriku ketika masih sehat dulu, sepertinya sangat cantik kalau dilihat dari samping, buru-buru kutepis pikiran kotorku, kemana istriku ??, mungkin dia dikamar pikirku.

“Mas Iwan, kapan sampainya??”, kok gak bilang-bilang??”, kata wanita bergaun putih itu menyapaku.
Mulutku terasa kelu, mataku membulat tak berkedip, wanita didepanku yang sedang berdiri dengan anggunnya ini adalah gadisku, istriku, cintaku, yang 5 minggu lalu kutinggalkan masih diatas kursi roda.
“Tarisa???, kamu??”.
“Kaget ya?, maafkan atas semua tingkahku selama ini ya mas, si mboklah yang berjasa menyembuhkan aku, seperginya kamu tak henti-hentinya beliau membantuku untuk sembuh, dan karena akupun ingin membuat kamu bahagia sebagaimana kamu telah membuatku bahagia, aku berusaha keras untuk itu”.

“Si mbok tidak pernah melihat cinta yang begitu agung, seagung cinta suami Ibu, tidak pernah merasakan gelora asmara yang begitu hebat sehebat gelora cinta yang si mbok lihat dari pancaran mata Pak Dody, tak pernah sedetikpun beliau berhenti memikirkan Ibu, memastikan Ibu bahagia dengan kondisi Ibu, bahkan ketika beliau berada jauh dari Ibu, hampir setiap saat beliau menelepon ke rumah hanya sekedar memastikan ibu baik-baik saja”.

“Kalimat itu selalu di ucapkan si mbok padaku, dan kalimat itulah yang mampu membuatku bangkit dari keterpurukan.”

Mata kami beradu, aku tertunduk malu atas ucapan istriku barusan, kurasakan tanganku berada dalam ganggaman hangat istriku, perlahan namun jelas dia berkata
“I love u mas, terima kasih sudah bersabar dan tidak meninggalkanku selama aku sakit dan tak berdaya dan terima kasih pula karena kamu mau berhenti sejenak untuk tidak terus berlari ketika aku tak sanggup lagi berjalan disisimu, sekarang langkah kita sudah sejajar, akan kupastikan aku selalu berada didekatmu, mendampingimu, berjalan dan berlari beriringan bersamamu”.

Tak banyak yang mampu aku katakan, bahkan airmataku pun tidak mampu untuk sekedar keluar, istriku menuntunku kekamar, dengan tawaran indah yang telah lama aku lupakan.


CINTA TIDAKLAH BUTA
KARENA CINTA MEMBUAT SESEORANG
MELIHAT KEISTIMEWAAN PASANGANNYA
KETIKA ORANG LAIN TIDAK BISA…….…

Tidak ada komentar: